14
Jan
10

Happy Holiday Part VI

Hari Jumat dalam minggu itu, aku langsung berencana ke Depok. Ternyata tidak butuh waktu yang lama untuk mendapat persetujuan dari Om. Aku langsung bersiap keesokan harinya dengan berbekal perjalanan kemarin dari Bekasi ke Bogor lewat Depok, selebihnya merupakan informasi dari Bu Okta yang aku sendiri kurang jelas mendengarnya. Pukul 09.00 pagi aku berangkat seperti biasa menggunakan angkot ke Parung, dari sana langsung dengan angkot nomor 3 jurusan Depok ke terminalnya. Kali ini aku agak sombong karena sudah terbiasa. Perjalanan dari Parung ke Depok cukup menarik. Angkot beberapa kali menghindari kemacetan dengan memilih melewati jalur perumahan warga (gang) yang sempit, dan malah beberapa kali harus terhenti karena ada mobil dari arah yang berlawanan dating dan dengan sibuk diinstruksikan oleh satpam yang kukira bukan satpam, tetapi warga sekitar yang membantu agar tidak terjadi kecelakaan di tempat sempit dangan belokan tajam yang banyak itu. Mereka bukan hanya orang dewasa yang menggunakan peluit serta berpakaian seperti polisi, tetapi banyak yang masih anak-anak dan dengan bertelanjang dada menjadi pahlawan di tempat mereka. Setelah lewat, para soir biasanya memberikan semacam tip kepada mereka, jumlahnya kukira tak terlalu banyak, karena yang diberikan hanyalah recehan yang aku tak tahu berapa nominalnya. Sedikit sih sedikit, tapi sepertinya di sisi lain menguntungkan bagi para satpam “jadi-jadian” itu, sedangkan bagi para sopir ku pikir walaupun menguntungkan, malah banyak ruginya. Bayangkan saja, jika melewati satu jalur di mana terdapat 3 belokan dan di situ sudah berjaga2 penjaganya, para sopir harus membayar tol itu, sedangkan sebelum mencapai jalan besar, masih terdapat 4 jalur lainnya, dan hal ini ditempuh sekitar 6 kali PP selama sehari. Berapa uang dikeluarkan, sementara penumpang yang ada kadang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Lagipula, harus ada uang yang disisihkan untuk membeli bensin serta setoran terhadap bos. Sudah begitu berapa banyak uang yang ditinggalkan untuk makan dan untuk istri anak mereka di rumah?
Aku betul-betul merasakan keadaan ini ketika sampai disuatu tempat, para “satpam” dengan tangan ditengadahkan menjulur kepada sopir yang saat itu hanya membawa 2 orang penumpang dari Depok setelah putus asa mencari penumpang – memang hanya 2 orang, karena aku adalah salah satu orang yang menumpang dari terminalnya –. Hari itu mungkin bukan cuaca yang baik untuk bepergian. Muka bapak yang berumur sekitar 40 tahunan itu terlihat muram dan kecut. Setiap kali diminta, yang bias dibilang hanyalah “Maaf Dek,” atau “Maaf Bang, lagi sepi,”. Untung para “satpam” itu sangat berbaik hati di balik tampang mereka yang kadang2 tampak seperti para preman pasar atau para napi yang berhasil meloloskan diri dari penjara. Akhirnya setelah penumpang lain selain aku turun, aku di turunkan agar ikut angkot lain di belakang yang kebetulan ada mempunyai penumpang yang kelihatan banyak. Aku hanya dimintai 3rb karena sudah setengah perjalanan. Jadi aku hanya akan membayar 2rb jika sampai ke terminal kepada angkot yang baru itu. Memikirkan itu aku benar2 tidak pernah bisa akan mengerti kenapa mereka harus sesengsara itu. Lalu jika mereka melepas pekerjaan itu dengan alasan tidak member kecukupan yang layak, apa yang akan mereka kerjakan? Apakah mungkin mereka akan seperti mereka yang berada di pinggir rel itu?
Aku tiba di terminal Depok sudah agak siangan. Panas sekali udaranya, karena sepertinya mendung dan akan segera hujan. Sambil bingung mau menunggu Ibu atau apa, aku membeli Green Tea yang harganya lumayan sangat mahal. Yang botol kecil 4rb, untung aku sudah sangat kehausan, lagian aqua juga sama mahalnya. Yang botol kecil di Sala3 cuma 1200 rupiah, di sini 3rb. Berapa kali kenaikannya? Aku berdiri di samping tempat jualan minum itu sambil mengetikan sms: Ibu di mana, saya sudah di dalam terminal Depok. Nanti saya tunggu di dalam atau di luar? Ke depan ITC? Beberapa saat kemudian Hp berbunyi, kali ini bunyi nada dering. Ibu Okta menelpon. Ibu menyuruhku langsung ke tempatnya naik angkot dengan tulisan Depok-Pal atau Depok-Rambutan atau ada satu lagi yang aku lupa. Katanya minta turun sama sopirnya di Detos. Dia juga berpesan agar aku naiknya di depan, jangan di dalam terminal, karena pasti akan menunggu lama sampai bias lolos dari sana (yang ini sih aku sudah pengalaman… :).
Aku keluar ke dean dan tiba2 ada angkot dengan tulisan Depok-Pal lewat, sepertinya terburu2, takut menjadi hambatan bagi angkot yang mengantri di belakangnya. Setelah ku lihat angkotnya kosong. Aku langsung melompat ke atasnya dan bilang turun di Detos. Belum selesai bicara, ada 2 orang cewek naik lagi dan tiba2 angkot hamper penuh. Ternyata ni sopir tahu banyak tentang cara mendapatkan penumpang. Karena pada dasarnya penumpang tidak suka kemacetan, makanya mereka lebih senang menunggu di luar dan itu yang menyebabkan si sopir cepat2 keluar tanpa penumpang. Pintar juga ya? Angkot terus berjalan dan aku mulai memperhatikan setiap hal dalam angkot itu. Angkot yang cukup bagus menurutku. Terpasang speaker di bagian belakang badan mobil dalam, yang walaupun kurang dimanfaatkan, tapi cukup membuatnya terlihat lebih keren dibanding angkot lainnya. Di pegangan tangannya terdapat glade –pewangi – rasa orange yang semakin menambah keharuman angkot yang terlihat bersih dan luas karena kacanya sangat jernih. Di bagian depan sopir terdapat beberapa gantungan yang menarik. Untuk ukuran angkot aku bias member nilai 75 dibandingkan dengan angkot2 di Soe.
Setelah berjalan sekitar 15 mnt, kami sampai di suatu tempat. Sopirnya melihat ke arahku serta berkata “Detos,”. Aku baru tersadar dari lamunan penilaian angkot, aku turun setelah membayar dan mencari tempat berdiri yang aman. Kulihat banyak sekali orang. Ni tempat rame sekali, pikirku. Bukan hanya orang Jakarta yang ada, tapi terlihat juga beberapa orang dari timur, sepertinya ada orang Ambon, Papua dan bias saja ada orang Timor 😀 Aku kan orang Timornya… Mereka berdiri di bawah jembatan penyebrangan dan juga di atasnya, terlihat penuh. Aku baru sadar kalau tempat ini merupakan tempat perbelanjaan dan juga hari ini hari sabtu, jadi pasti banyak orang yang datang untuk malam mingguan. Hebat sekali tempat ini… Aku mengabari Ibu dan mengatakan di mana posisiku sekarang. Setelah menyebrangi jembatan penyebrangan yang juga macet manusia itu, aku menunggu dijemput tepat di bawah ujung jembatan. Tidak perlu beberapa jam sampai Ibunya datang. Kami langsung bersalaman – khas orang timur – dan langsung berangkat ke kos Ibu. Akhirnya aku tiba di Depok. Senangnya…..
Bersamb……………..


0 Responses to “Happy Holiday Part VI”



  1. Leave a Comment

Leave a comment